Friday, September 30, 2005

Orang-orang Aneh

Sumpah. Aku tak bermaksud “mendewa-ndewakan” seseorang melalui tulisan ini. (jowo banget yo). Aku cuma mau ngrasani uniknya perilaku orang-orang ini. Aku kagum pada perilaku itu dan ingin ngrasani mereka saja. Kalau ada kesan sinis yang timbul, yo maaf. Itu hanyalah efek samping dari sebuah pemberitaan. Percayalah. Kekagumanku tak layak dinodai dengan sinisme kok. Pada tahun 1980an, di Gremet Lor, Manahan, Solo, tinggallah seorang lelaki tua yang kupanggil Eyang Kis. Ia sangat mencintai aksara Jawa. Ia hampir tak pernah menulis dengan huruf latin. Catatan-catatan tentang berbagai hal selalu ditulisnya dengan aksara Jawa. Aku sempat bertanya kepadanya tentang hal ini. Dengan bangga ia menjawab: “Supaya aku tidak menyembunyikan catatan rahasia itu dari Eyang Kis Putri. Biar tak umbar saja di atas meja kerja. Toh, orang-orang seisi rumah ini tak ada yang mampu membaca tulisanku.” Eyang Kis tekun menabung di celengan tanah liat. Ketekunannya menabung mengundang heran. Ia punya 4 celengan untuk masing-masing kendaraannya, 3 scooter dan 1 mobil. Untuk setiap kilometer perjalanan dengan scooternya, ia mewajibkan diri untuk menabung Rp 100. Ia pun menabung Rp 250 untuk setiap kilometer perjalanan dengan mobilnya. Jadi, untuk jarak sepuluh kilometer dengan scooter, ia memasukkan Rp. 1000,- ke celengan untuk scooter. Atau menabung Rp 2500 ke celengan untuk mobil, bila ia bepergian dengan mobilnya. “Aku mulai menabung seperti ini saat masih punya sepeda. Celengan penuh, tak pecah, jadi scooter satu. Beli celengan lagi, penuh lagi, tak pecah lagi, jadi scooter lagi. Yo sampek jadi kijang ini”, katanya dengan bangga. Eyang Kis memang bokis... :) Orang aneh yang lain adalah Pakdenya Budi, teman sekolahku. Aku hanya menyapanya dengan ‘Pakde’. Tak pernah menanyakan namanya. Pakde selalu berbusana dengan warna putih. Pakaian dalam, hem, celana pendek, celana panjang, sapu tangan, kaos kaki, serta sepatu yang dikenakannya berwarna putih.. Ia tak pernah tampil dengan warna lain. Konon, ia punya jawaban standar yang sengak atas pertanyaan mengapa ia selalu memilih warna putih: “Sak karepku to. Wong kabeh iki anggo-anggoku dewe”. Ia lupa bahwa penampilannya yang monoton bisa jadi membosankan bagi orang yang bertemu dengannya setiap hari, sepanjang hidupnya. Kenalanku, Baartje, juga termasuk orang aneh. Lulusan Manajemen Informasi dari salah satu universitas beken di negeri kincir angin itu, tadinya bekerja pada bank terbesar di Belanda. 10 tahun yang lalu ia memilih pulang ke Indonesia dengan alasan tidak bisa kaya di Negeri Belanda, sekalipun ia bekerja keras membanting tulang. Pajak penghasilan yang dibebankan pemerintah pada pekerja sangat tinggi, katanya. Sekarang, kayakah dia di Indonesia? Tidak, kataku. Dia kurang beruntung dan kurang ‘rakus’ untuk jadi orang kaya baru di Indonesia. Dalam dunia blog pun ada orang-orang aneh yang mengagumkan. Mereka serius mengembangkan blognya. Bukan cuma menyediakan waktu dan keseriusan saja untuk updating blognya, mereka pun mengerahkan sejumlah dana untuk mengembangkan blognya. Ada obyek-obyek yang mereka beli, mereka potret kemudian mereka tampilkan di blog. Padahal, mereka harus ngeblog dari warnet. Padahal, ia tidak memperoleh imbalan apapun atas blog-blognya itu. Mereka tidak melayani pemasangan iklan di blog. Kalaupun ada iklan, itu cuma ‘pamrih’nya blog service provider atas layanan gratis ini, serta ungkapan terima kasih sang orang-orang aneh pada layanan ini. Heran aku. Ngapain mereka-mereka mau buang uang buat ngeblog ya? Mungkin mereka ini orang yang bingung kemana membuang uangnya...... Aku selalu bertanya-tanya mengenai keunikan orang-orang ini. Kok iso yo?!?!? Sangat memikat !!! Salut…!!!

Wednesday, September 28, 2005

Jangan-jangan............

Tadi pagi, sambil ngopi di pinggir jalan depan toko, saya jadi saksi kemesraan yang menarik di antara dua binatang yang berbeda spesies. Sayang sekali saya tak berbekal kamera digital. Ah… Mbencekno!!! Kemesraan tersebut terjadi antara seekor anjing - bulu joroknya berwarna hitam dan putih, dengan seekor kucing belang - berbulu abu-abu, putih dan hitam. Kedua mahluk ini datang dari arah yang berlawanan, menuju suatu titik pertemuan tepat di depan kursi saya. Sang anjing tiba lebih dahulu di titik itu. Ia berhenti berjalan, mengibas-ngibaskan ekornya, menyambut kedatangan sang kucing di meeting point itu. Setibanya di titik itu, sang kucing disambut sang anjing dengan ciuman mesra di sekujur punggungnya. Sang kucing pun tampak menikmati ciuman itu dengan terus berjalan mengitari kaki-kaki sang anjing, sambil menggesek-gesekkan tubuhnya pada kaki-kaki sang anjing itu. Sang anjing pun tampak menikmati usahanya menciumi punggung si kucing. Ia tampak berusaha mengikuti gerakan si kucing dengan juluran kepalanya kesana-kemari. Kemesraan tulus ini terjadi kurang lebih satu atau dua menit saja. Kemudian kedua hewan ini berpisah, meneruskan keasyikannya masing-masing. Keakraban dan kemesraan seperti itu beberapa kali saya jumpai di kota ini. Yang paling sering adalah keakraban antara kucing dengan tikus, saat mereka bersama-sama mengais sisa-sisa makanan dari bak sampah yang menunggu truk penjemputnya di jalan kampung, dekat penjual nasi goreng kondang yang tak pernah sepi pembeli, tetangga saya. Omong-omong tentang keakraban antar binatang ini, bikin saya bertanya-tanya. Binatang-binatang yang berbeda spesies itu kok bisa rukun ya?!? Mereka kok bisa saling kasih-mengasihi dengan tulus ya?!?! Apakah ‘ndoro-ndoro’ pemilik masing-masing binatang itu mengajarkan kerukunan pada binatang peliharaannya?!? Kalau tidak diajari, apakah di antara mereka ada “bahasa antar spesies” yang memudahkan sosialisasi “kerukunan antar spesies” ya?!? Atau…… Jangan-jangan Sang Maha Kasih sendiri lah yang mengembangkan kasih di antara binatang-binatang itu, supaya kita berlogika dengan kalimat “Binatang aja bisa rukun, mosok manusia kayak kita-kita ini berantem terus sih?!?” Who knows?!?!?

Monday, September 26, 2005

Klise ?!?!?

Dua minggu lalu manajemen toko memutuskan bahwa saya dan tujuh orang rekan dari counter lainnya dipindahkan ke counter yang baru dibentuk. Tapi, kami tetap melakukan pekerjaan yang sama: menjual / sales. Tetap menghadapi target penjualan tertentu dan tetap menerima fasilitas yang sama. Apapun alasan manajemen memindahkan kami, saya tetap harus bersikap positif. Saya bilang ke diri sendiri: Inilah kesempatan yang lebih besar untuk berprestasi. Inilah tantangan baru. Mungkin ini klise. Mungkin ini cuma cara saya menghibur diri. Ora popo. Saya perlu men-sugesti diri sendiri agar tetap penuh semangat bekerja. Saya harus survive demi anak dan calon istri e. Toh, sikap ini halal dan sah-sah saja kan?! Jujur saja saya tuliskan di sini. Tapi ….ssssttt… tolong jangan bilang ke manajemen toko ya. Saya kaget dipindahkan dengan pemberitahuan yang sedemikian mendadak. Apalagi saya sangat menikmati kerja di counter yang lama. Tapi, inilah tugas seorang kroco. Saya tak punya pilihan. Saya harus menerima tugas baru ini dengan senang hati. Kalaupun saya gundah, saya harus berhasil mengatasi kegundahan yang timbul karena keputusan ini. Memang saya gundah. Kegundahan ini terasakan dari banyaknya pertanyaan yang saya ajukan pada diri sendiri mengenai keputusan manajemen ini. Saya mengajukan pertanyaan yang sama, berulang-ulang, ke diri sendiri di berbagai kesempatan. Saat melamun sambil makan siang. Saat merenung dan berkonsentrasi penuh di WC. Sambil merenung sebelum tidur malam dan pada kesempatan-kesempatan lainnya. Maklumlah, orang gundah dan penasaran. Pendek kata, pertanyaan-pertanyaan yang timbul harus memenuhi formula “5 W + 1 H”, yang sering dijadikan pedoman oleh para reporter media massa. Sekalipun sudah belasan kali bertanya-tanya, sampai hari ini belum ada jawaban pasti yang saya dapatkan. Yang jelas, mayoritas anggota team baru ini adalah orang-orang yang sedang mengalami demotivasi karena counter mereka sebelumnya ditutup. Hal yang lucu adalah, tampaknya masing-masing anggota kelompok menyadari keadaan demotivasi ini. Hasilnya, dalam beberapa hari terakhir ini, para anggota kelompok bergantian fungsi menjadi motivator kelompok. Masing-masing orang menuntut diri jadi orang pro-aktif. Antusiasme dalam bekerja mulai tumbuh kembali. Tanpa dikomando, masing-masing orang menciptakan suasana kerja yang lebih nyaman. Kami saling melayani satu sama lain dengan senang hati. Saya pun ingin sok terlibat dalam upaya perbaikan ini. Usaha saya adalah merangsang lahirnya mimpi-mimpi tentang keberhasilan dan kemauan berusaha mewujudkan impian-impian itu di antara rekan-rekan kerja ini. Mudah-mudahan kita semua berhasil mengatasi masa-masa sulit (-pitik-) ini……

Friday, September 23, 2005

Have a Nice Week-end....!!!!!

Tuesday, September 20, 2005

Pengangguran Terselubung

Kemarin saya menghadiri sebuah diskusi panel yang membahas tentang “pengangguran”. Salah satu panelis mengatakan bahwa kata ‘pengangguran’ adalah “orang yang tidak bekerja; orang yang tidak punya mata pencarian”. Sebagian orang-orang yang mengkritisi masalah pengangguran tidak dapat menerima definisi tersebut. Mereka merasa definisi tersebut kurang luas. Definisi ini terlalu sempit, sehingga tidak mampu menggambarkan keadaan masyarakat yang sebenarnya, argumen mereka. Supaya mereka tidak dibilang “om-do” mengenai pengangguran, orang-orang kritis tersebut merasa perlu me-re-definisikan kembali kata “pengangguran”. Menurut mereka, pengangguran bukan hanya terdiri dari: orang yang tidak bekerja dan orang yang tidak punya mata pencarian. Menurut orang-orang ini, orang-orang yang tidak maksimal menggunakan kemampuannya dalam bekerja ataupun orang-orang yang tidak dipekerjakan secara maksimal termasuk dalam kategori pengangguran. Mereka ini adalah pengangguran terselubung, katanya. Pembicaraan mengenai pengangguran terselubung ini membuat saya tidak tertarik pada topik pembicaraan selanjutnya. Pikiran saya langsung mencari profesi apa saja yang berpotensi ‘menyimpan’ pengangguran terselubung. Lalu, bidang pekerjaan apa saja yang berpotensi ‘menyimpan’ pengangguran terselubung. Tak cukup sampai di situ, saya pun turut memperkirakan apa langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh pihak yang berkepentingan dengan bidang ketenaga-kerjaan untuk mencegah terjadinya pengangguran terselubung ini. Capek sekali deh ikut-ikut mikirin….. Dari pembicaraan ini, ketenteraman saya terusik. Apakah saya termasuk pengangguran terselubung? Saya merasa telah bekerja dengan baik. Saya selalu berusaha memenuhi target penjualan yang telah ditetapkan oleh manajemen toko. Tercapai-tidaknya target itu juga tergantung pada daya beli konsumen. Mulai toko buka, saya telepon kesana kemari menawarkan item-item dagangan yang dijual di toko ini, dan upaya saya berakhir saat toko tutup. Tak jarang saya lembur tanpa digaji untuk deliver barang-barang ini ke pembeli. Menurut saya sendiri, saya tidak termasuk pengangguran terselubung. Tapi, suara lain di hati saya menyanggah argumen-argumen itu, katanya, “Kalau Anda bukan pengangguran terselubung, kok dalam jam buka toko masih sempat ngeblog ?!?!?” Daripada ngeblog, kan lebih baik merapikan tumpukan barang dagangan, membukukan penjualan atau melakukan pekerjaan yang lain kan?!?! Iya ya. Apakah aku pengangguran terselubung juga ya?!?!?

Saturday, September 17, 2005

Pengemis Abad 21

Dua orang perempuan pengemis itu berjalan bergandengan meminta-minta uang pada pengendara mobil2 yang berhenti karena lampu merah di perempatan Karet Bivak. Pengemis yang melek berjalan di depan memegang dan menyodorkan tangan pengemis buta untuk menerima uang dari pengendara mobil yang mereka hampiri. Karena iba, aku mempersiapkan beberapa ratus rupiah untuk kuberikan kalau mereka minta2 di kaca mobilku (baca: mobil yang kukendarai). Aku terus mengamati gerakan dan langkah2 mereka berdua. Mereka menghampiri BMW 318 i model terbaru yang berhenti di depan mobilku dan tidak mendapatkan apa2. Mereka segera beralih ke Toyota Altis di samping BMW tersebut dan tidak mendapat apapun dari pengendaranya. Begitu pula saat mereka menghampiri Escudo 2.0 di samping mobilku yang berhenti tepat di belakang Altis hitam itu, mereka tidak mendapat apapun. Dengan pola “menyamping-mundur” yang mereka jalankan dalam menghampiri mobil2 yang berhenti, seharusnya mereka bergerak menyamping, menghampiri mobilku, Daihatsu Zebra Minibus butut, yang kusebut “ferrari biru”. Nyatanya tidak. Mereka berjalan ke belakang ke Escudo, sebuah Timor merah. Mereka tidak mendapat pemberian apapun. Kemudian mereka bergerak menyamping menghampiri sedan – aku gak tau merknya - di belakang mobilku. Mereka pun tidak mendapat apa2. Aku tersenyum kecut melihat kejadian ini. Mereka melewatkan peluang mendapat uang hanya karena mobilku tak semewah mobil-mobil yang lain di sekitarku. Mungkin pengemis itu pernah mendapat pelajaran Logika: “ Bila mobil bagus tidak memberi uang, maka mobil jelekpun tidak mungkin memberikan sesuatu”. Aih….. pengemis abad 21… memang pintar-pintar…..!!!

Thursday, September 15, 2005

Sang Idola

Beberapa hari ini, media massa dipenuhi berita tentang puluhan karyawan Pertamina yang bersekongkol menyelundupkan BBM ke luar negeri. Ada berita tentang seorang remaja pria belasan tahun yang melakukan sodomi pada tiga orang anak-anak. Ada pula berita tentang seorang ayah dan putrinya yang terlibat incest dengan sepengetahuan istrinya. Juga berita tentang sebuah keluarga - ayah, ibu, dua orang anak remaja dan adik si ayah – yang tertangkap basah oleh polisi saat mereka sedang pesta shabu-shabu. Bila kejahatan-kejahatan seperti itu itu di’sinetron-indonesia’kan (dijadikan sinetron oleh produser Indonesia yang suka gaib), penonton akan menyaksikan personifikasi pikiran-pikiran jahat para pelaku kejahatan mejadi sosok iblis, setan, jin dan lain sebagainya. Selain akan memudahkan penonton memahami alur cerita, kehadiran visual dari mahluk-mahluk gaib tersebut di dalam cerita diharapkan dapat meningkatkan daya tarik suatu sinetron bagi penonton televisi di Indonesia. Dibalik tujuan tersebut, sebenarnya, personifikasi ini justru merendahkan kemampuan penonton televisi. Penonton dianggap tidak mampu memahami message dari suatu cerita yang disampaikan secara realistis, sehingga message tersebut harus disederhanakan sedemikian rupa dengan menghadirkan mahluk gaib dalam suatu cerita, supaya penonton dapat mencerna dan memahami makna message tersebut. Personifikasi ini pun merendahkan martabat manusia. Ada kesan bahwa manusia tidak lagi punya kemampuan membedakan antara baik dengan buruk. Timbul pula kesan bahwa manusia tidak mampu menolak ajakan mahluk-mahluk gaib untuk berbuat jahat. Bahkan mengesankan bahwa mahluk-mahluk tersebut adalah mahluk super-power yang tidak mampu dilawan oleh manusia. Bagi sebagian orang, personifikasi tersebut menimbulkan kesan bahwa manusia tak pernah punya ide berbuat dosa. Manusia hanyalah pelaksana perbuatan dosa. Aktor intelektual dari semua perbuatan dosa manusia adalah mahluk-mahluk gaib tersebut. Dosa dan kesalahan manusia hanya terjadi karena perintah mahluk-mahluk gaib tersebut. Dikesankan bahwa manusia tidak mampu lagi menjawab ‘tidak’, saat mahluk gaib membujuknya untuk berbuat dosa. Personifikasi ini menjadikan mahluk-mahluk gaib tersebut sebagai kambing hitam dari dosa-dosa manusia. Jadi, jangan salahkan siapapun.kalau Anda atau anggota keluarga yang Anda cintai tiba-tiba merasa iba pada iblis, setan, jin dan mahluk gaib lainnya yang hadir dalam cerita-cerita sinetron Indonesia. Jangan salahkan keluarga Anda tercinta bila akhirnya mereka bersimpati pada mahluk-mahluk gaib tersebut dan akhirnya mengidolakan mahluk-mahluk gaib itu, lalu kesurupan sang idola seperti murid-murid SMU di Jombang - Jawa Timur dan Medan - Sumatra Utara yang kesurupan masal beberapa waktu lalu itu. Hiiiii….!!!!!!

Wednesday, September 14, 2005

Sedikit Catatan tentang Mbah Kung

Keterlaluan. Aku benar-benar tak tahu pasti usia Mbah Kung. Padahal telah bertahun-tahun ia tinggal di rumah ini bersama Ayah, Ibu, aku dan adik-adikku. Seingatku tak sekalipun ia pernah menyebutkan usianya. Yang jelas, ia punya banyak cerita tentang masa pendudukan Belanda, Jepang dan Inggris di Surabaya. Tampaknya, di tahun-tahun awal kemerdekaan negara ini dia sudah dewasa. Aku ingat. Ia pernah bercerita, "Aku mulai ngelirik Mbah Putrimu awal tahun 28an gitu le. Waktu itu Mbah Putrimu masih malu-malu kucing. Setahun kemudian tak tembung langsung ke Mbah Buyutmu. E, diwenehke. Yo wis. Langsung kawin." Katakanlah si Mbah menikah umur 20 tahun di tahun 1928. Berarti sekarang usianya 97 tahun. Wow! Kakekku sudah berusia hampir satu abad. Kalau memang sudah sedemikian sepuh, berbahagialah ia. Fisiknya prima. Ingatannya pun masih sangat tajam. Ia ingat betul detil-detil peristiwa di keluarga besar kami yang terjadi bertahun-tahun silam. Ia ingat setiap hal yang membanggakan baginya maupun hal-hal yang melukai perasaannya. Saat ingatannya tertuju pada bagian-bagian yang tabu dibicarakan, tampaklah kesedihan di wajahnya. Kalau mimiknya berubah seperti ini, aku sering menggodanya dengan memintanya bercerita tentang pergaulan dengan para perempuan di masa mudanya dulu. Pasti dia segera terhibur. Tersipu malu seperti aku di masa remajaku dulu. Ah… Mbah Kung, tak perlu bersedih. Mbah terlalu tua untuk bersedih. Nikmati saja sisa hidup ini di tengah suara kicau burung dan “kriet... kriet...” gesekan batang bambu dalam rumpun bambu di belakang rumah. Mudah-mudahan Mbah sehat-sehat selalu

Monday, September 12, 2005

Idealisme Sederhana tapi Orisinal

Haree geennee….. hidup pake idealisme…?!?!? Makan tuh idealisme…!!!!! Pernahkah Anda mendapat ejekan itu dari lingkungan sekitar, rekan sejawat ataupun keluarga Anda? Ejekan itu mungkin akan menyakitkan bagi para idealis yang tersisa di negara ini. Bahkan, mungkin, para idealis yang “setengah-setengah” langsung menanggalkan “baju” idealis, gara-gara mendengar ungkapan itu. Sebaliknya, bagi para idealis sejati, ungkapan ini malahan jadi cambuk untuk makin kuat memegang idealisme yang diyakininya. Apakah idealisme? Apakah manfaat idealisme? Apa saja kriteria yang digunakan untuk menobatkan seseorang sebagai idealis? Bagaimana hidup sebagai idealis? Siapa yang disebut idealis? Siapa yang layak menobatkan seseorang sebagai idealis? Rangkaian pertanyaan di atas adalah bagian dari puluhan pertanyaan lain yang mungkin timbul dalam pembicaraan tentang idealisme, dan mengundang bermacam-macam jawaban dengan kebenaran relatif, kebenaran saat ini yang bisa jadi salah besok pagi. Ataupun, jawaban yang benar bagi saya tapi salah bagi Anda. Dari uraian di atas, saya memutuskan, tidak usah meneruskan tulisan tentang idealisme ini. Lha wong kebenaran tulisan ini yo relatif. Bukan kebenaran mutlak. Lha wong kebenaran mutlak itu punya Sang Maha Benar. Bagi saya, yang penting saya punya idealisme. Titik. Saya tidak takut hidup sengsara karena idealisme-idealisme saya. Wong idealisme saya adalah idealisme sederhana tapi orisinal. Tidak tiru-tiru Soe Hok Gie, Munir atau beberapa anggota DPR yang sok idealis itu. Kalau saya mau dapat nilai bagus, ya saya harus belajar. Gak boleh nyontek. Kalau mau kaya raya dan sukses dalam karir, ya harus bekerja keras dan berprestasi. Gak boleh menjilat. Gak boleh cari muka. Gak boleh korupsi. Kalau mau rukun sama pacar, ya saya harus mengajak pacar menciptakan kerukunan dalam berpacaran. Kalau mau cari istri, ya, harus cari istri sendiri. Nggak boleh ngrebut bojone orang lain. Dan yang terpenting, saya harus cari istri yang baik. Sebaik Bu Po titik titik titik ......

Friday, September 09, 2005

Slenthing-Slenthing

Setelah 6 hari pertunangan itu berlalu, masih terdengar ‘slenthing-slenthing’ komentar kawan, saudara dan tetangga atas peristiwa itu. Seluruh komentar yang ada membahagiakan hati orang tua-tua yang bertunangan ini. Terima kasih kepada para komentator.... Setelah 6 hari pertunangan itu berlalu, masih ada juga yang memberikan selamat. Ada yang sangat antusias memberikan selamat. Sudah nylameti lewat e-mail, nylameti lewat sms dan masih nylameti lisan lewat telepon pula. Ada yang sekedar memberikan selamat. Ada yang memberikan selamat tapi terasa sinis dan ada yang jelas-jelas mentertawakan pertunangan orang tua-tua ini. Respons terbanyak yang timbul berujud pertanyaan. Kenapa kok nggak langsung menikah? Kenapa kok nggak langsung kawin aja? Orang tua ini pun menjawab, “Saya dan dia sama-sama belum pernah tunangan. Jadi, kami memutuskan bertunangan dulu". Apapun respons yang timbul atas peristiwa istimewa ini adalah ujud kasih kepada orang tua-tua yang bertunangan ini. Sekaligus, sebagai indikasi kuat bahwa orang tua-tua yang bertunangan itu sungguh-sungguh eksis di tengah komunitasnya. Eksis menghadirkan rasa suka sekaligus tidak suka.... Hehehehe.... Orang tua-tua memang harus pe-de dan sedikit ‘narsis’ supaya tidak mengalami post-power syndrome dalam menjalani sisa hidupnya….. harap maklum... Anda pun harus ingat bahwa nanti Anda pun akan jadi orang tua. Orang tua juga manusia. Punya hak bertunangan…….…. Terima kasih atas segala kepedulian pada pertunangan orang tua-tua ini. Orang tua-tua ini yakin Sang Maha Baik tidak menutup mata pada kebaikan yang telah Anda berikan kepada orang tua-tua ini….. Tuhan menyertai kita semua…….

Thursday, September 08, 2005

Mbencekno Lagi...!!!

Mbencekno!!! Saya mengalaminya kembali. Ngetak-ngetik, pengen mengisi “ASUnyatan…!!!” tapi kehabisan ide. Bahkan dugaan bahwa “Mandala Airlines jatuh di Medan gara-gara kelebihan muatan durian seberat 3 ton” tak mampu memancing keusilan pikiran saya. Jalan-jalan muter ke blog-blog yang menarik pun tidak memancing kreatifitas. Malahan bikin nelangsa. Keadaan ini sangat sangat sangat mbencekno!!! Sekalipun agak mangkel, saya tetap bersyukur…..Slameeeeet…. Saya bukan orang yang “mengharuskan diri” untuk up dating blog setiap hari, seperti orang-orang kreatif yang hadir di dunia blog. Seandainya saya sekreatif mereka lalu kehabisan ide, mateng aku. Bisa frustrasi terus ngombe KTI dan Topi Miring sak ngglethak e sama gentho-gentho di pojok jalan sana. Slameeet… met…. met…. met….. Mudah-mudahan nanti atau besok ada ide lagi yang lewat klewas-klewes di bagian otakku yang bertugas menuangkan ide ke dalam tulisan. Mudah-mudahan….. Amin…!!!!!

Wednesday, September 07, 2005

Cari dengan Mata, Jangan dengan Mulut

Tiba-tiba pagi ini saya teringat omelan-omelan almarhumah Ibu saya pada anak-anaknya saat mengetahui anak-anaknya bertengkar karena berebut coklat, berebut mainan atau pun karena sebab-sebab lainnya. Omelan Ibu kasar, lucu tapi apa yang disampaikan memang benar adanya. Suatu kali, Ibu mendengar volume suara Gembrot, adik perempuan saya, yang berteriak kepada Panjul, adik laki-laki saya, karena berebut kesempatan memutar tape player di ruang keluarga. Ibu berdiri dan berseru, “Hoi !!! Ribut terus, koyok kucing ae”. Ia menambahkan, “Makanan bikin ribut. Mainan bikin ribut. Sekarang tape bikin ribut. Nanti kalau aku marah, tapenya aku buang lho. Kalian itu bersaudara, kok berantem terus”. Kedua adik saya segera menyelesaikan pertengkarannya. Saya tersenyum kecut di teras. Ibu memang selalu menekankan pentingnya kerukunan di antara anak2nya. Semua masalah bisa diselesaikan tanpa ribut-ribut, kata Ibu. Saya setuju dengan pendapat itu. Kami dilatihnya bertenggang-rasa. Kami diajarinya saling kasih-mengasihi, supaya tidak “ribut terus, kayak kucing”. Omelan Ibu memang lucu bagi saya. Seringkali kami ‘gedubrakan’ kesana kemari mencari mainan atau benda milik kami yang terselip. Biasanya, belum tuntas –bahkan kadang-kadang belum mencoba- mencari ke sudut-sudut rumah, kami sudah menyerang Ibu dengan teriakan, “Bu, mobil-mobilanku mana?!”. Tanpa emosi, Ibu menjawab, “Cari dengan mata, jangan dengan mulut”. Hehehehe……

Tuesday, September 06, 2005

Ngopi, Ngeteh, Sego Bandeng, Gorengan dan Kevin di Angkringan

‘Ngopi’, ‘ngeteh’, makan ‘sego bandeng’ atau sekedar makan ‘gorengan’ di angkringan memang mengasyikkan. Nggak salah bila banyak orang yang dengan setia melakukannya setiap hari di Jogja. Mereka seolah-olah mewajibkan diri untuk selalu nongkrong di angkringan. Saat ke Jogja akhir minggu lalu, saya menyempatkan diri nongkrong di angkringan depan hotel tempat saya menginap. Saya cuma ingin ngopi dan makan gorengan tempe saja di kantin khas Jogja ini. Saat menikmati menu pilihan saya, masuklah seorang lelaki dan anak lelakinya ke dalam angkringan yang saat itu dipenuhi oleh tukang becak yang tengah beristirahat. Melihat saya beringsut memberi tempat duduk, mereka pun duduk di sebelah saya, memesan minuman dan makan gorengan yang dijajakan.. Saya pun kembali dengan keasyikan saya semula, menikmati aroma kopi dan rokok di angkringan pinggir jalan ini. Keganjilan muncul di benak saya, saat mendengar sang bapak berseru pada anaknya, “Kevin. Mbok maem o sego bandeng wae. Sate kerang ora marai wareg”. Rupanya anak ini dinamai dengan nama yang berkesan kebarat-baratan. Mengapa tidak diberi nama Makmur, Suparman, Sigit, Jati atau nama-nama lain yang khas Jawa? Saya bertanya-tanya dalam hati. Apakah ini suatu trend dalam memberi nama pada anak yang berlaku umum di tengah masyarakat Jawa? Mengapa si bapak ikut trend kebarat-baratan ini? Sambil terus menikmati aroma kopi dan rokok di angkringan itu, saya mencoba mengingat pola perilaku etnis-etnis yang ada di Indonesia dalam memberikan nama pada anak. Orang Ambon, Menado dan Batak biasa memberi nama anak dengan nama-nama para tokoh besar dalam sejarah dunia dan diikuti dengan nama marga keluarga besar pihak laki-laki, misalnya, Abraham Manuhutu, Johnson Lontoh ataupun Washington Simandjuntak. Orang Cina menamai anak dengan menyebutkan nama marga terlebih dahulu. Jadi, Liem Tiong Djie itu berarti Tiong Djie yang berasal dari marga Liem. Bila si anak dipanggil Tommy, maka namanya akan ditulis dengan Tommy Liem. Setahu saya, nama yang diberikan orangtua Jawa kepada anaknya penuh dengan muatan makna dan harapan akan masa depan si anak. Misalnya, nama Djoko Santoso berarti seorang laki-laki yang diharapkan membawa sentosa pada keluarga. Saya tetap menikmati kopi dan gorengan yang dijual di angkringan itu. Saya pun mentertawakan diri sendiri yang sudah membuang waktu dan energi karena penasaran memikirkan seorang laki-laki Jawa yang menamai anaknya dengan Kevin. Ngapain saya mikirin dia ya? Itu kan sepenuhnya hak dia.

Monday, September 05, 2005

Marilah melanjutkan hidup

Musibah, apapun bentuknya, pasti menghadirkan kesedihan di antara mereka yang anggota keluarganya turut menjadi korban. Saya turut merasa sedih dan prihatin atas rangkaian musibah yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir ini. Mudah-mudahan keluarga yang ditinggalkan oleh para korban mendapat kekuatan dari Sang Khalik. Dalam pandangan saya, musibah itu terjadi atas seijin Sang Pemberi Hidup. Mengapa Dia mengijinkan musibah terjadi? Jawaban dari pertanyaan itu sama dengan jawaban dari pertanyaan “Mengapa Dia mengijinkan saya hidup?”. Kita hanya bisa menduga jawaban-jawaban dari pertanyaan itu. Kalau Anda ingin dapat jawaban yang tepat dari pertanyaan itu, bertanyalah padaNya melalui doa-doa Anda, supaya Dia membisikkan jawaban yang tepat di telinga hati Anda. Marilah melanjutkan hidup. Kalau Anda beragama, teruslah berdoa memohon kekuatan dari Sang Maha Perkasa. Kalau Anda tidak beragama, tetaplah bersemangat karena masih ada kehidupan yang menanti Anda.