Wednesday, August 16, 2006

Duik Klinthing = Duik Krincing = Duik Crik

Tak perlu bertanya-tanya tentang arti kata-kata dalam judul di atas. Bahasa Indonesia dari ketiga istilah itu adalah “uang logam”. Ketiga istilah tersebut berkembang di Malang sejak akhir tahun tujuhpuluhan, yaitu sejak Bank Indonesia mengeluarkan pecahan logam satu Rupiah, lima Rupiah dan sepuluh Rupiah sebagai alat pembayaran di Indonesia. Istilah “duik klinthing”, “duik krincing” dan “duik crik” terbentuk tanpa sengaja. “Uang” dalam bahasa Jawa Malang-an disebut dengan “duik”. Sedangkan “klinthing”, “krincing” dan “crik” adalah suara yang terdengar dari keping-keping uang logam itu. Bila satu keping jatuh ke permukaan yang keras, maka suara yang timbul akan terdengar sebagai “klinthing”. Bila beberapa keping jatuh bersama-sama pada suatu permukaan keras, maka suara yang timbul akan terdengar sebagai “krincing… krincing… krincing… krincing…”. Sedangkan suara “crik” timbul saat beberapa keping uang tersebut bersinggungan dalam kantong. Jadi, kemungkinan besar suara yang ditimbulkan oleh keping-keping uang logam inilah yang jadi sumber istilah “duik klinthing”, “duik krincing” dan “duik crik”. Penggunaan ketiga istilah itu berkembang meluas, mungkin, karena istilah itu adalah jawaban atas kebingungan orang-orang di kota pelajarnya Jawa Timur dalam menerjemahkan “uang logam” ke dalam bahasa Jawa yang mereka gunakan sehari-hari. “Uang” adalah “duik” “Logam” ?!?! Susah diterjemahkan. Tidak ada kata bahasa Jawa yang spesifik sebagai terjemahan “logam”. Logam, umumnya, disebut dengan “wesi”. Kalau uang logam diterjemahkan sebagai “duik wesi”, rasanya kurang tepat. Jadi, digunakanlah ketiga istilah itu untuk menyebutkan uang logam dalam bahasa Jawa Malang-an. Sebenarnya, tidak ada maksud mengungkap sejarah yang patut diragukan kebenarannya seperti di atas. Tulisan itu terjadi karena pikiran ini tiba-tiba kepleset, berjalan melenceng tak tentu arah. Niat awalnya, “duik klinthing” hanyalah simbol untuk berceloteh tentang sisi positif dan sisi negatif yang selalu hadir beriringan dalam setiap keadaan, seperti dua sisi uang logam yang hadir bersama di kantong atau di celengan kita. Eeee…. Lha kok bisa belok ke arah sejarah kata?!?!? Pikiran memang bebas berjalan kesana kemari. Tak dapat dikekang. Tak dapat dilarang. Bebas berpikir tentang apa saja. Pikiran memang merdeka. Atau merdeka cuma ada di pikiran saja ya? Dirgahayu Indonesia...... Merdeka........ Pikiran ini kepleset lagi, saking merdekanya.......