Friday, January 20, 2006

Pernikahan adalah Sumber Kekayaan

Benarlah nasihat para ulama bahwa pernikahan adalah sumber rezeki. Sebaliknya, perceraian bisa merugikan bagi kekayaan anda. Survai yang melibatkan 9.000 orang menunjukkan perceraian menurunkan kekayaan seseorang hingga 77 persen. "Cerai menyebabkan menurunnya kekayaan jauh lebih besar daripada sekadar membagi rata harta gono-gini," kata Jay Zagorsky dari Ohio State University. Penelitian ini dilakukan pada rentang waktu 1985 hingga 2000. Pada tahun 1985, rata-rata usia pasangan yang disurvai antara 21 hingga 28 tahun. Sebaliknya, pernikahan itu sendiri membuat seseorang lebih kaya daripada sekedar menggabungkan kekayaan kedua pasangan. Setiap orang yang menikah, rata-rata memperoleh jumlah kekayaan dua kali lipat. Hanya dari faktor pernikahan, tanpa melibatkan faktor lain dalam perhitungan, seseorang meningkat kekayaannya sekitar 4 persen setiap tahun. Temuan tersebut dijelaskan dalam Journal of Sociology. "Jika Anda benar-benar ingin meningkatkan kekayaan, menikahlah dan pertahankan," kata Zagorsky. Di lain pihak, lanjutnya, hindari perceraian karena akan menurunkan kekayaan. Setelah bercerai, pria memiliki kekayaan rata-rata 2,5 kali lebih besar daripada wanita. Selisih di antara keduanya rata-rata berkembang menjadi sekitar 5.100 dollar AS saja. Pada orang yang akhirnya bercerai, kekayaannya terus merosot selama empat tahun menjelang perceraiannya dan mencapai titik terendah pada tahun perceraiannya. Kekayaannya kembali naik perlahan setelah bercerai namun tidak terlalu besar. "Bahkan sekitar sepuluh tahun setelah bercerai, rata-rata kekayaannya di bawah 10 ribu dollar AS," kata Zagorsky. Menurutnya, penelitian ini bukanlah sebagai pembenaran, tapi paling tidak ada alasan yang dapat menjelaskan. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa hidup bersama membuat pasangan lebih efisien dan pengeluaran lebih murah ketika hidup serumah. Sumber : LiveScience.com Penulis: Wah

Tuesday, January 17, 2006

Warisan

Sudah beberapa bulan aku tak mencoba ketak-ketik karangan di komputer ataupun corat-coret draft di kertas. Selain waktu dan pikiranku disita oleh kesibukan pekerjaan serta kesibukan pacaran, aku sibuk bermusik. Ya mendengar musik, ya main musik, ya mengamati orang main musik. Sangat menarik. Sekalipun sedemikian besar daya tariknya, aku tidak ingin mengulas musik disini. Aku bukan pengamat musik. Aku bukan kolektor kaset, piringan hitam, cd ataupun buku-buku tentang musik. Aku cuma penggemar musik. Bukan juga penggemar yang fanatik. Aku hanya gemar mendengar musik, gemar memainkan alat musik dan suka mengamati orang bermain musik. Kata musik selalu mengingatkan aku pada ayahku. Beliau lah yang memperkenalkanku pada musik. Ia gemar bersiul. Lagu-lagu yang gemar disiulkannya adalah lagu-lagu rohani dan lagu-lagu jazz standard yang dikuasainya dengan baik. Siulannya yang merdu telah kudengar sejak aku kecil. Tak mustahil suara siulan ayahku dan irama detak jantung ibuku adalah musik pertama yang kudengar dalam hidupku, yaitu sejak aku tumbuh sebagai janin dalam rahim ibuku. Siulan ayahku dan musik dari kaset dan piringan hitam yang diputarnya – mau tak mau – terdengar juga olehku di masa-masa pertumbuhanku. Lambat laun, lagu-lagu yang disiulkan dan didengarkannya membentuk selera musikku. Aku paling suka mendengar musik jazz dan lagu-lagu gerejani. Aku menyebut rasa sukaku itu sebagai warisan karena aku tak punya alasan khusus kenapa jazz yang paling kusuka. Rasa suka itu datang begitu saja. Aku pernah menolak menerima warisan ini. Bentuk penolakan itu adalah aku belajar mendengar dan memainkan jenis-jenis musik yang lain: rock, pop, latin, dangdut, keroncong dan selanjutnya. Hasilnya, aku suka mendengar dan memainkan jenis musik yang lain pula. Tetapi, warisan berupa suka jazz itulah yang paling mendominasi rasa sukaku akan musik. Aku telah menyaksikan show berbagai grup musik dengan berbagai jenis aliran musik yang mereka bawakan. Pernah menikmati nonton dangdut. Pernah nonton dan menikmati gamelan Jawa dan gamelan Bali, termasuk campur sari. Pernah menikmati dan menyaksikan grup-grup rock manggung. Dan, tentu saja, pernah nonton pertunjukan jazz. Di antara itu semua, cuma jazz saja yang dapat membuaiku dalam imajinasi bahwa akulah pemain gitar di kelompok yang sedang manggung. Di panggung jazz yang lain, aku berimajinasi sebagai bassist. Aku berimajinasi sebagai singer, sebagai saxophonist, sebagai gitaris atau sebagai keyboardist di panggung-panggung yang lain. Gila ! Aku tak punya sedikitpun alasan dan tak dapat menemukan penyebab pasti yang mampu menerangkan mengapa aku suka jazz. Yang jelas, aku tidak meniru ayahku. Aku rasa, satu-satunya kata yang tepat adalah: warisan. Ya, inilah warisan yang telah kuterima dari ayahku. (Thanks, Pa....!!!)