Wednesday, February 01, 2006

Njarem

Aku mengenal dan menggunakan kata “njarem” sejak tinggal di Solo, Jawa Tengah. Sebelum tinggal di kota bengawan, aku tak kenal kata yang menggambarkan rasa pegal-pegal yang terjadi pada otot di bagian tubuh tertentu ini. Kata yang kugunakan sebelumnya adalah pegel. Biasanya, njarem timbul akibat beban kerja fisik tertentu, seperti olahraga, mengangkat beban berat secara terus menerus selama beberapa waktu dan sejenisnya. Sebenarnya aku sendiri tak yakin akan kebenaran pemahamanku tersebut. Aku pernah menanyakan definisi kata ‘njarem’ ini pada beberapa orang yang menguasai Bahasa Jawa. Jawaban yang kudapat dari mereka kurang lebih sama dengan pemahamanku di atas, yaitu rasa pegal di otot pada bagian tubuh tertentu yang timbul setelah kita melakukan pekerjaan fisik yang cukup berat. Rasa ini akan timbul pada betis bila kita menjinjitkan kaki selama satu jam atau lebih, bila kita tidak terlatih melakukannya. Njarem akan timbul di punggung dan tangan kita sebagai akibat aktifitas kita mencangkul tanah seluas 1000 meter persegi atau lebih tanpa bantuan orang lain, - sekali lagi - bila kita tidak terlatih melakukannya. Saat ini beberapa bagian tubuhku terasa njarem, akibat kegiatanku mengganti warna cat bak mandi dan dinding kamar mandi kontrakan baruku. Sebagai penjaga toko, aku memang tak terlatih melakukan pekerjaan fisik sebagai tukang cat seperti itu. Seingatku, baru sekali atau dua kali aku mengecat sebidang dinding seperti itu. Jadi, wajarlah bila ada rasa njarem di beberapa bagian tubuhku. Saat ini pahaku njarem. Mungkin, waktu mengecat kemarin, aku terlalu banyak jongkok. Betisku juga njarem. Mungkin, kemarin aku terlalu sering dan terlalu lama menjinjitkan kakiku saat berusaha mengecat bagian atas dari dinding itu. Lenganku pun njarem. Ya wajar. Wong kemarin aku menggunakan tanganku untuk mengecat. Seandainya kemarin aku menggigit kuas cat di mulut, lalu mengecat dinding dengan menundukkan dan menengadahkan kepalaku secara bergantian, tentu saat ini leherku njarem sekali.