Tuesday, September 06, 2005

Ngopi, Ngeteh, Sego Bandeng, Gorengan dan Kevin di Angkringan

‘Ngopi’, ‘ngeteh’, makan ‘sego bandeng’ atau sekedar makan ‘gorengan’ di angkringan memang mengasyikkan. Nggak salah bila banyak orang yang dengan setia melakukannya setiap hari di Jogja. Mereka seolah-olah mewajibkan diri untuk selalu nongkrong di angkringan. Saat ke Jogja akhir minggu lalu, saya menyempatkan diri nongkrong di angkringan depan hotel tempat saya menginap. Saya cuma ingin ngopi dan makan gorengan tempe saja di kantin khas Jogja ini. Saat menikmati menu pilihan saya, masuklah seorang lelaki dan anak lelakinya ke dalam angkringan yang saat itu dipenuhi oleh tukang becak yang tengah beristirahat. Melihat saya beringsut memberi tempat duduk, mereka pun duduk di sebelah saya, memesan minuman dan makan gorengan yang dijajakan.. Saya pun kembali dengan keasyikan saya semula, menikmati aroma kopi dan rokok di angkringan pinggir jalan ini. Keganjilan muncul di benak saya, saat mendengar sang bapak berseru pada anaknya, “Kevin. Mbok maem o sego bandeng wae. Sate kerang ora marai wareg”. Rupanya anak ini dinamai dengan nama yang berkesan kebarat-baratan. Mengapa tidak diberi nama Makmur, Suparman, Sigit, Jati atau nama-nama lain yang khas Jawa? Saya bertanya-tanya dalam hati. Apakah ini suatu trend dalam memberi nama pada anak yang berlaku umum di tengah masyarakat Jawa? Mengapa si bapak ikut trend kebarat-baratan ini? Sambil terus menikmati aroma kopi dan rokok di angkringan itu, saya mencoba mengingat pola perilaku etnis-etnis yang ada di Indonesia dalam memberikan nama pada anak. Orang Ambon, Menado dan Batak biasa memberi nama anak dengan nama-nama para tokoh besar dalam sejarah dunia dan diikuti dengan nama marga keluarga besar pihak laki-laki, misalnya, Abraham Manuhutu, Johnson Lontoh ataupun Washington Simandjuntak. Orang Cina menamai anak dengan menyebutkan nama marga terlebih dahulu. Jadi, Liem Tiong Djie itu berarti Tiong Djie yang berasal dari marga Liem. Bila si anak dipanggil Tommy, maka namanya akan ditulis dengan Tommy Liem. Setahu saya, nama yang diberikan orangtua Jawa kepada anaknya penuh dengan muatan makna dan harapan akan masa depan si anak. Misalnya, nama Djoko Santoso berarti seorang laki-laki yang diharapkan membawa sentosa pada keluarga. Saya tetap menikmati kopi dan gorengan yang dijual di angkringan itu. Saya pun mentertawakan diri sendiri yang sudah membuang waktu dan energi karena penasaran memikirkan seorang laki-laki Jawa yang menamai anaknya dengan Kevin. Ngapain saya mikirin dia ya? Itu kan sepenuhnya hak dia.

1 Comments:

Blogger abhirhay said...

bukti bahwa nama tak mengenal batas budaya. suatu waktu aku pernah ke sudut banyumas. di satu desa saja tak kurang ada enam orang bernama "warmo". belum desa lainnya. entah kenapa orang kawasan situ ngefans banget sama ini. mungkin bawa hoki kali...

9/06/2005 04:39:00 PM  

Post a Comment

<< Home